4 Agu 2008

Puri dan Gria di Pulau Dewata


MENURUT sejarah perkembangannya, orang-orang yang pertama kali menghuni Bali disebut Bali Mula. Para imigran dari India, yang masuk kemudian disebut Bali Aga/Bali Pegunungan. Sekitar abad ke 14, Bali dikuasai Majapahit sehingga masuklah orang-orang dari Majapahit ke Bali. Orang-orang dari Majapahit tersebut kemudian disebut sebagai Bali Arya. Bali Mula dan Bali Aga kemudian bertempat tinggal di daerah pegunungan, sementara Bali Arya di dataran atau kota-kota kerajaan.
Berdasarkan pelapisan sosialnya, orang Bali Arya dikategorikan sebagai orang-orang yang berkasta Brahmana, Ksatria, dan Wesia.
Wilayah Bali terdiri dari dua bagian, yaitu Bali Pegunungan yang disebut Bali Aga dan Bali Dataran. Daerah pegunungan merupakan tempat yang dianggap keramat karena di daerah-daerah tersebut terletak kuil-kuil (pura) yang dianggap suci.
Sistem mata pencaharian hidup orang Bali dapat dikelompokkan dalam bentuk pertanian, industri, dan jasa. Pola perkampungan penduduk Bali pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tata nilai ritual, menempatkan zona sakral di bagian kangin (timur) sebagai arah terbitnya matahari sebagai yang diutamakan. Faktor kondisi dan potensi alam, menempatkan nilia utama ke arah kaja (gunung) dan sebaliknya menganggap rendah arah kelod (laut). Faktor ekonomi, menempatkan nilai utama pada tempat bekerja seperti desa nelayan menghadap ke laut, desa pertanian menghadap ke arah sawah/perkebunan.
Dari segi strukturnya, perkampungan di Bali terdiri dari perkampungan yang mengelompok padat dan perkampungan yang menyebar. Pola perkampungan mengelompok padat bisa dilihat di daerah Bali Pegunungan, seperti desa Tenganan Pegringsingan. Sebaliknya perkampungan dengan pola menyebar banyak terdapat di daerah Bali Dataran.
Rumah Tinggal
Orang Bali yang terdiri dari beberapa lapisan (kasta) menyebut rumah dengan istilah yang berbeda-beda. Bagi kasta Brahmana, rumah disebut Geria. Golongan Ksatria menyebut dengan istilah Puri dan Jero. Istilah Puri dipergunakan jika rumah tersebut ditempati oleh kaum Ksatria yang memegang pemerintahan rumah mereka disebut dengan nama Jero. Rumah tinggal juga disebut dengan istilah Umah, khususnya bagi mereka yang berasal dari kasta Wesia dan mereka yang bukan dari kasta Brahmana dan Ksatria.
Typologi bangunan tradisional disesuaikan dengan tingkat-tingkat golongan utama, madya, dan sederhana. Adapun type-typenya adalah sakepat, sakenem, sakutus, sakaroras. Dalam bangunan Bali ada pula yang disebut kari dan penyengkar. Kori adalah pintu masuk ke pekarangan, sedangkan penyengkar adalah batas pekarangan.
Susunan Ruangan
Konsep dualistik kangin-kauh (sebagai sumbu religi), kaja-kelod (sebagai sumbu bumi) memegang peranan penting dalam menentukan arah bangunan. Bale meten sebagai tempat tidur menghadap kaja, bale untuk ruang upacara/ruang serba guna letaknya kangin tempat memasak atau bale paon letaknya kelod atau kelod kauh. Bale dauh untuk jineng/lumbung padi letaknya kauh. Sumur dan tempat mandi menempati kaja-kauh.
Bagian pekarangan di belakang rumah disebut teba, berfungsi sebagai tempat ternak dan tanaman buah-buahan.
Susunan ruangan dalam bangunan disesuaikan dengan fungsi masing-masing bangunan. Jineng untuk lumbung menyimpan padi, dan di bawahnya untuk balai-balai tempat duduk. Bale paon dan ruang perapian untuk tungku memasak, dan untuk mengawetkan hasil pertanian. Bale sumanggen digunakan untuk ruang upacara adat, ruang tamu, dan ruang serba guna. Ruangannya terdiri dari balai-balai dan pelataran. Bale meten sakutus atau gunung rata berfungsi sebagai tempat tidur.
Sebagai bangunan untuk pemujaan, pura terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi dalam tiga zone. Zone utama disebut jeroan, sebagai tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan. Zone tengah disebut jaba tengah, sebagai tempat persiapan dan pengiring upacara. Zone depan disebut juga jaba sisi, sebagai tempat peralihan dari luar ke dalam pura.
Pekarangan pura dibatasi oleh tembok batas (penyengker) pekarangan. Pintu masuk di depan atau di jabaan memakai candi bentar dan pintu masuk ke jeroan memakai kori agung.
Bangunan pura umumnya menghadap ke barat, sehingga pemujaan dan persembahyangannya menghadap ke timur ke arah terbitnya matahari. Bangunan pura berjajar utara-selatan atau kaja-kelod di sisi timur, menghadap ke barat dan sebagian di sisi kaja menghadap kelod. Bale pawedan dan bale piyasan di sisi barat menghadap ke timur halaman pura.
Ragam Hias
Untuk memperindah bangunan, dibuatlah ragam hias yang dipahatkan, diukirkan, atau ditatahkan. Ragam hias yang digunakan biasanya bermotif flora dan fauna. Motif flora yang sering dipakai dalam ragam hias, antara lain keketusan, kekarangan, dan pepatraan. Ragam hias keketusan mengambil pola tumbuh-tumbuhan. Keketusan wangga melukiskan bunga-bunga besar yang mekar. Keketusan bunga tuwung, berbentuk bunga terung dalam pola liku-liku segi banyak berulang. Keketusan bun-bunan, merupakan hiasan berpola tumbuh-tumbuhan jalar.
Ragam hias kakarangan dibuat mendekati bentuk flora yang ada. Ragam hias jenis ini ada yang disebut karang simbar, karang bunga, dan karang suring. Karang simbar dipakai untuk hiasan sudut bebaturan.
Bentuk ragam hias pepatraan mewujudkan gubahan keindahan hiasan dalam patern-patern yang disebut patra. Ragam hias jenis ini ada beberapa, yaitu patra wangga yang merupakan hiasan kembang mekar, patra sari yang berbentuk flora dari jenis berbatang menjalar dan melingkar-lingkar, patra bun-bunan, patra pidpid, patra punggel, patra samblung, patra pae, dan lain-lain.
Ragam hias pada bangunan tradisional pada umumnya memperlihatkan warna asli, warna bahan yang merupakan warna alam. Di samping warna asli juga digunakan warna buatan sebagai bentuk hiasan. Warna buatan biasanya adalah biru, merah, dan kuning. Keseluruhan ragam hias yang digunakan dalam bangunan diwujudkan dalam bentuk ukiran, tatahan, pepulasan, pepalihan, dan lelengisan.
Selain bermotifkan flora, ragam hias bangunan juga menggunakan motif fauna. Gambar-gambar fauna diukirkan pada bidang relief di dinding, panil atau bidang-bidang ukiran lainnya. Ukiran fauna tersebut umumnya mengambil dari cerita rakyat/legenda tantri dari dunia binatang. Penampilan fauna dalam bentuk patung bercorak ekspresionis, pada kakarangan bercorak abstrak, dan pada relief bercorak realis.
Fauna sebagai hiasan berfungsi sebagai simbol ritual, ditampilkan dalam bentuk patung yang disebut pratima. Sebagai elemen bangunan yang berfungsi ragam hias, fauna dikenakan untuk sendi alas tiang dalam bentuk garuda, singa bersayap, atau bentuk-bentuk lainnya.
Ragam hias dari jenis fauna ditampilkan sebagai materi hiasan dalam berbagai macam dengan nama masing-masing, di antaranya adalah kekarangan, yang mengambil bentuk binatang gajah, atau binatang khayal primitif. Ragam hias jenis ini antara lain adalah karang boma, karang sae, karang asti, karang goak, karang tapel, karang bentulu. Selain kekarangan ada pula patung, yang mengambil bentuk dewa-dewa imajinasi. Ragam hias jenis ini antara lain berbentuk patung garuda, singa, lembu, naga, kura-kura, kera, dan lain-lainnya.